Glitter Word GeneratorGlitter Word GeneratorGlitter Word GeneratorGlitter Word GeneratorGlitter Word GeneratorGlitter Word GeneratorGlitter Word GeneratorGlitter Word GeneratorGlitter Word GeneratorGlitter Word GeneratorGlitter Word GeneratorGlitter Word GeneratorGlitter Word Generator

24 Februari 2009

Khutbah Ali bin Abi Thalib Mengenai Penciptaan Manusia


فِي صِفَةِ خَلْقِ الإنْسَانِ

أَمْ هَذَا الَّذِي أَنْشَأَهُ فِي ظُلُمَاتِ الأَرْحَامِ وَ شُغُفِ الأَسْتَارِ نُطْفَةً دِهَاقا وَ عَلَقَةً مِحَاقا وَ جَنِينا وَ رَاضِعا وَ وَلِيدا وَ يَافِعا ثُمَّ مَنَحَهُ قَلْبا حَافِظا وَ لِسَانا لاَفِظا وَ بَصَرا لاَحِظا لِيَفْهَمَ مُعْتَبِرا وَ يُقَصِّرَ مُزْدَجِرا

حَتَّى إِذَا قَامَ اعْتِدَالُهُ وَ اسْتَوَى مِثَالُهُ نَفَرَ مُسْتَكْبِرا وَ خَبَطَ سَادِرا.مَاتِحا فِي غَرْبِ هَوَاهُ كَادِحا سَعْيا لِدُنْيَاهُ فِي لَذَّاتِ طَرَبِهِ وَ بَدَوَاتِ أَرَبِهِ ثُمَّ لاَ يَحْتَسِبُ رَزِيَّةً وَ لاَ يَخْشَعُ تَقِيَّةً فَمَاتَ فِي فِتْنَتِهِ غَرِيرا وَ عَاشَ فِي هَفْوَتِهِ يَسِيرا لَمْ يُفِدْ عِوَضا وَ لَمْ يَقْضِ مُفْتَرَضا دَهِمَتْهُ فَجَعَاتُ الْمَنِيَّةِ فِي غُبَّرِ جِمَاحِهِ وَ سَنَنِ مِرَاحِهِ فَظَلَّ سَادِرا وَ بَاتَ سَاهِرا فِي غَمَرَاتِ الآلاَمِ وَ طَوَارِقِ الأَوْجَاعِ وَ الأَسْقَامِ بَيْنَ أَخٍ شَقِيقٍ وَ وَالِدٍ شَفِيقٍ وَ دَاعِيَةٍ بِالْوَيْلِ جَزَعا وَ لاَدِمَةٍ لِلصَّدْرِ قَلَقا وَ الْمَرْءُ فِي سَكْرَةٍ مُلْهِثَةٍ وَ غَمْرَةٍ كَارِثَةٍ وَ أَنَّةٍ مُوجِعَةٍ وَ جَذْبَةٍ مُكْرِبَةٍ وَ سَوْقَةٍ مُتْعِبَةٍ

ثُمَّ أُدْرِجَ فِي أَكْفَانِهِ مُبْلِسا وَ جُذِبَ مُنْقَادا سَلِسا ثُمَّ أُلْقِيَ عَلَى الأَعْوَادِ رَجِيعَ وَصَبٍ وَ نِضْوَ سَقَمٍ تَحْمِلُهُ حَفَدَةُ الْوِلْدَانِ وَ حَشَدَةُ الإِخْوَانِ إِلَى دَارِ غُرْبَتِهِ وَ مُنْقَطَعِ زَوْرَتِهِ وَ مُفْرَدِ وَحْشَتِهِ حَتَّى إِذَا انْصَرَفَ الْمُشَيِّعُ وَ رَجَعَ الْمُتَفَجِّعُ أُقْعِدَ فِي حُفْرَتِهِ نَجِيّا لِبَهْتَةِ السُّؤَالِ وَ عَثْرَةِ الاِمْتِحَانِ وَ أَعْظَمُ مَا هُنَالِكَ بَلِيَّةً نُزُولُ الْحَمِيمِ وَ تَصْلِيَةُ الْجَحِيمِ وَ فَوْرَاتُ السَّعِيرِ وَ سَوْرَاتُ الزَّفِيرِ لاَ فَتْرَةٌ مُرِيحَةٌ وَ لاَ دَعَةٌ مُزِيحَةٌ وَ لاَ قُوَّةٌ حَاجِزَةٌ وَ لاَ مَوْتَةٌ نَاجِزَةٌ وَ لاَ سِنَةٌ مُسَلِّيَةٌ بَيْنَ أَطْوَارِ الْمَوْتَاتِ وَ عَذَابِ السَّاعَاتِ إِنَّا بِاللَّهِ عَائِذُونَ.
قال الشريف وَ فِي الخُبر إنَّهُ ع لَما خُطِبَ بِهذِه الخُطْبَة اقشعْرت لَها الجُلُود وَ بِكت العُيون وِ رَجِفْت الْقُلوب.


"Dan lihatlah manusia yang telah diciptakan Allah dalam rahim yang gelap dan lapisan-lapisan tirai dari mani yang melimpah, kemudian gumpalan yang tak berbentuk, kemudian janin, kemudian bayi yang menetek, kemudian menjadi anak, kemudian menjadi orang muda yang telah berkembang penuh. Kemudian la memberinya hati dengan ingatan, lidah untuk berkata-kata dan mata untuk melihat, agar ia dapat mengambil pelajaran (dari apa yang di sekitarnya) dan memahaminya dan mengikuti nasihat dan menjauhi kejahatan.



Ketika ia telah dapat tegak berdiri sebagaimana layaknya dan menyamai yang lain, ia membanggakan diri dan kebingungan. la menarik berember-ember hawa nafsunya, tenggelam dalam memenuhi keinginan untuk kesenangannya dari dunia dan tujuan-tujuannya (yang kotor). Tidak ia takut akan kejahatan apa pun, tidak pula ia ngeri akan suatu peringatan, ia mati jenuh dengan kejahatan-kejahatannya. la melewatkan kehidupannya yang singkat dengan memburu sampah. la tidak mendapatkan ganjaran, tidak pula memenuhi suatu kewajiban. Penyakit yang mematikan men-jangkaunya sementara ia masih sedang mengumbar hawa nafsu dan ia pun bingung karenanya. la melewatkan malam dengan terjaga dalam kesusahan dan kesedihan dan nyerinya sakit dan keluhan dalam kehadiran saudara-saudara kandung, ayah yang mencintai, ibu yang meratap, saudara perempuan yang menangis, sementara ia sendiri dalam keresahan yang menggalau, derita yang dahsyat, tangisan menakutkan, sakit yang mencekik, nyeri oleh penderitaan dan taring maut yang melemaskan.



Setelah itu ia dibungkus dengan kain kafan sementara ia tinggal diam dan menyerah sepenuhnya kepada orang lain. Kemudian ia ditempatkan di atas papan dalam keadaan sedemikian rupa setelah ia diinjak-injak oleh kesulitan dan dikuruskan oleh penyakit. Kumpulan orang muda dan saudara-saudara yang datang menolong mengusungnya ke rumah kesepiannya di mana seluruh hubungan dengan pengunjung terputus. Setelah itu orang-orang yang mengiringinya pergi dan orang-orang yang menangisinya pun kembali lalu ia didudukkan dalam kuburnya untuk (menjawab) pertanyaan yang mengerikan dan ujian yang mudah menggelincirkan. Bencana besar dari tempat itu ialah air panas dan masuknya ke dalam neraka, nyala api abadi dan kobaran yang pekat. Tak ada waktu istirahat, tak ada senggang untuk santai, tak ada kekuatan untuk mencegah, tak ada kematian untuk hiburan dan kelegaan, dan tak ada tidur untuk membuatnya melupakan kepedihan, melainkan terbaring di bawah berbagai jenis kematian dan hukuman saat-demi-saat. Kami berlindung kepada Allah."




Diriwayatkan bahwa ketika Amirul Mukminin menyampaikan khotbah ini, orang-orang mulai gemetar, air mata mereka mengalir dan hati mereka ketakutan. Sebagian orang menamakan khotbah ini Khutbah al-Ghurra' (Khutbah yang Cemerlang). (Nahjul Balaghah: Khutbah 82)

Read More..

19 Februari 2009

Berdoa dengan Bisikan Cinta

Doa adalah salah satu bentuk percakapan antara seorang hamba kepada Tuhan, antara seorang kekasih kepada yang dikasihinya. Kata doa berasal dari kata da’ā’, yad’ū, du’ā`an atau da’watan, yang berarti undangan, seruan, atau panggilan. Ketika berdoa, kita memanggil Tuhan, dan Tuhan pun memanggil kita. Pada hakikatnya berdoa adalah saling memanggil di antara sepasang kekasih.

Adab Berdoa
Dalam berdoa, kita harus memiliki adab-adab tertentu di hadapan Allah Swt. Nabi Isa As pernah bersabda, ”Janganlah kamu berkata bahwa ilmu itu ada di langit, sehingga yang naik langitlah yang akan mendapat ilmu itu. Janganlah pula kamu berpikir ilmu itu ada di perut bumi, sehingga siapa saja yang masuk ke dalamnya akan memperoleh ilmu. Ilmu itu tersembunyi di dalam hati nuranimu. Beradablah di hadapan Allah dengan adab kaum ruhaniyyin. Berakhlaklah di hadapan Allah dengan akhlak kaum shiddiqin. Kelak ilmu itu akan memancar dari hatimu. Allah akan memberikan ilmu itu kepadamu dan memenuhi hatimu dengannya...”

Allah memerintahkan kita untuk senantiasa beradab di depan-Nya. Lalu, apa tanda beradab di hadapan Allah? Sebuah hadis Qudsi, meriwayatkan bahwa Allah berfirman, Hamba-Ku, apakah memang perkataan kamu, menyuruh Aku, tetapi perhatianmu ke kanan dan ke kiri. Kemudian engkau berbicara dengan sesama hamba-Ku yang lain. Engkau mengerahkan seluruh perhatianmu kepadanya dan engkau tinggalkan Aku?”"

Adab ketika kita berdoa kepada Allah sama halnya dengan adab kita ketika berbicara dengan sesama manusia. Waktu kita bercakap-cakap dengan orang lain, kita selalu memusatkan perhatian kita kepadanya dan tidak melirik ke kiri dan ke kanan. Namun ketika kita bermunajat kepada Allah Swt., perhatian tidak kita curahkan kepada-Nya, pikiran kita melayang kepada makhluk-makhluk lain. Kita lupa kepada Sang Khalik yang kita hadapi. Apakah termasuk perilaku yang indah jika kita menghadap Tuhan sementara perhatian kita ke sana kemari?

Al-Quran memberikan contoh doa-doa yang beradab. Doa Nabi Ayyub As. misalnya. Ketika Nabi Ayyub ditimpa penderitaan karena penyakit yang tak kunjung terobati, ia berdoa, ”Tuhanku, sungguh kesengsaraan telah menimpaku saat ini. Sementara Engkau Maha Pengasih dari segala yang mengasihi.”

Ketika dilanda derita, Nabi Ayyub As. tidak berdoa dengan doa yang berisi perintah-perintah kepada Allah untuk diberikan kesembuhan. Karena adab dalam berdoa adalah tidak menggunakan kalimat-kalimat perintah di dalamnya. Tidak ada fi`il ’amr di situ. Yang selalu disebut-sebut dalam doa adalah nama Allah Swt. meskipun Allah yang menguji dengan penderitaan itu.

Begitu pula dengan Nabi Ibrahim As. ketika beliau sakit, Nabi Ibrahim tidak berdoa dengan permintaan: ”Karena Engkau yang menimpakan sakit kepadaku, . ”Melainkan Nabi Ibrahim As. berdoa, ”Apabila aku sakit, Dialah Yang memberikan kesembuhan.”

Contoh lain dari doa yang beradab adalah doa Nabi Adam As. yang amat kita kenal: “Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Sekiranya Engkau tidak mengampuni dan menyayangi kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi.” Dalam doa itu, tak ada satupun kalimat perintah.

Di Indonesia, sering kita mendengar doa-doa resmi dalam berbagai acara, yang isinya rangkaian perintah kita kepada Tuhan. Maklum, biasanya yang berdoa adalah para pejabat di kantor sehingga dia menganggap Tuhan sebagai salah satu anak buahnya. Sebuah doa di sebuah institusi pemerintah berbunyi, ”Tuhan, lunakkanlah hati para Inspektur sehingga Kota Bandung dapat memperoleh Parasamya Purnakarya Nugraha.” Doa tersebut tidak salah, hanya kurang beradab.

Adab lain dalam berdoa adalah dengan tidak meminta hal-hal yang sangat spesifik, tidak mendikte Tuhan bahwa itulah hal yang paling baik bagi kita. Misalnya kita dianjurkan tidak berdoa, ”Tuhan, sembuhkanlah aku.” Tetapi, sebaiknya kita berdoa, Ya Allah, duhai Sang Maha Penyembuh...”

Lebih beradab lagi jika kita berdoa dengan hal-hal yang bersifat umum dan memasukkan ke dalam doa itu bukan saja diri kita, melainkan juga kaum muslimin dan muslimat seluruhnya.

Tingkatan Doa


Doa dalam tingkatan paling rendah adalah doa-doa orang awam. Doa jenis ini ditandai dengan rangkaian perintah kepada Tuhan. Biasanya doa ini berisi permintaan kita agar diberi sesuatu, berisi harapan kita dan permohonan agar dilindungi dari hal-hal yang ditakuti.

Tingkatan selanjutnya adalah doa yang berbunyi, ”Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu surga dan berlindung kepada-Mu dari api neraka.” Dalam doa ini, kita meminta kepada Tuhan agar diberi surga dan dijauhkan dari neraka. Pada tingkatan ini, kita mengharapkan pahala dan dilepaskan dari siksa; kita memohon keberuntungan dan dihindarkan dari malapetaka; kita menginginkan harta yang banyak dan dijauhkan dari kesengsaraan. Seluruh doa kita hanya berkisar di antara ganjaran dan hukuman.

Lebih tinggi lagi tingkatannya adalah doa yang berbunyi, ”Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung dengan ridha-Mu dari murka-Mu.” berbeda dengan doa sebelumnya, sang pendoa sudah tidak lagi memikirkan pemberian atau ancaman Tuhan, tetapi ia hanya memedulikan keridhaan dan kemurkaan Allah Swt.

Doa pada tingkatan berikutnya berisi pengakuan akan kehinaan dan kekecilan diri kita. Doa itu hanya berisi percakapan hamba dengan Tuhannya; yang menceritakan betapa lemahnya ia di hadapan kebesaran Tuhannya. Doa ini bersifat pengakuan dan pengaduan diri kita kepada Allah. Seperti doa Nabi Adam As: Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami. Sekiranya Engkau tidak mengampuni dan menyayangi kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi.

Doa-doa seperti itu sulit untuk diamini ketika dipanjatkan bersama-sama. Sebaliknya, doa yang berisi kalimat-kalimat perintah, amat mudah untuk kita amini. Karena doa yang isinya perintah hanya ditujukan untuk diri sendiri, sifatnya sangat egoistis. Doa itu misalnya, "Tuhanku, ampunilah aku, sayangi aku, tingkatkan derajatku, dan berilah rezeki kepadaku." Kalimat dalam doa itu semua berujung kepada kata "aku". Sekali lagi, doa itu tidak salah, tetapi doa itu merupakan doa dalam tingkatan yang paling rendah.

Ketika kita mendengar doa yang berisi pengakuan akan kehinaan diri, kita sulit untuk mengamininya. Untuk doa seperti itu, kita tidak mengikuti dengan menyebutkan "amin", tetapi kita mengikuti doa itu dengan sepenuhnya hati dan menghayati setiap kata di dalamnya.

Kita dianjurkan untuk mengadu kepada Allah Swt; mengakui segala kenistaan kita dihadapan-Nya. "Tuhanku, kepada diri-Mu, aku adukan diri yang memerintahkan kejelekan, yang bergegas melakukan kesalahan, yang tenggelam dalam kemaksiatan pada-Mu, yang menjadikan aku orang celaka dan terhina..."

Tingkatan doa yang paling tinggi adalah doa yang merupakan bisikan-bisikan cinta dari seorang kekasih kepada yang dikasihinya. Doa itu merupakan rayuan pencinta kepada Sang Tercinta agar Dia memelihara cinta-Nya. Doa-doa itu senada dnegan isi surat Majnun kepada Laila: "Aku turut berbahagia atas pernikahanmu. Aku tidak meminta apa-apa kecuali engkau mengenang bahwa di satu tempat ada seseorang yang sekiranya tubuh dia tercabik-cabik binatang buas, ia akan masih tetap menyebut namamu." Dalam ucapan itu, meskipun ada permintaan, tetapi disampaikan dengan cara yang amat halus; dengan yang penuh adab.

Rabiah al-Adawiyah, seorang sufi besar, berdoa dengan doa yang amat terkenal. Dalam doa itu, Rabiah bertutur: "Tuhanku, kalau aku mengabdi kepada-Mu karena takut akan api neraka, masukkanlah aku ke dalam neraka itu dan besarkan tubuhku di dalamnya, sehingga tak ada tempat lagi bagi hamba-hamba-Mu yang lain. Namun, kalau aku menyembah-Mu karena menginginkan surgaMu, berikan surga itu kepada hamba-hamba-Mu yang lain. Bagiku, Engkau sudah cukup ..."

Doa indah Rabiah telah sampai pada tingkatan cinta. Karena doa itu telah menjelma menjadi bisikan cinta, orang merasa enak dalam memanjatkannya. Meskipun doa itu teramat panjang, karena kita tengah mengucapkan rayuan, kita akan tahan berlama-lama. Orang yang telah berdoa dengan tingkatan yang paling atas akan merasakan kenikmatan yang luar biasa ketika ia berdoa dengan rangkaian doa-doa yang panjang.

Sebagai ilustrasi akhir, mari kita renungkan, cerita Nabi Ibrahim as akan meninggal dunia. Malaikat Izrail datang untuk mencabut nyawanya. Nabi Ibrahim berkata kepadanya, "Mana mungkin Sang Khalik mematikan kekasih-Nya?" Nabi Ibrahim seakan menggugat mengapa seorang pencinta mematikan pencintanya. Allah lalu menjawab, "Bagaimana mungkin seorang kekasih tak mau berjumpa dengan kekasihnya?" Mendengan jawaban itu, Ibrahim berkata, "Kalau begitu, ambillah nyawaku sekarang juga."

Apakah kita tidak ingin mencapai derajat seperti yang dicapai Nabi Ibrahim sebagai kekasih Allah? (Demikian uraian panjang dikutip dari tulisan Jalaluddin Rakhmat).

Read More..

14 Februari 2009

KHUSYU'

Dalam kitab Tibb al-Qulub, dinyatakan bahwa Khusyu' adalah menghadapnya hati kepada Allah Swt dengan ketundukan dan kehinaan serta dengan menghimpun seluruh kandungan hati. Ada yang berkata, 'khusyu' adalah ketundukan kepada kebenaran. Al-Junaid berkata, "khusyu' adalah ketundukan hati terhadap Allah Yang Maha Mengetahui yang ghaib."
Imam Ibnu al-Qayyim berkata, "orang-orang arif telah sepakat berpendapat bahwa sesungguhnya khusyu' itu letakknya di hati, dan buahnya tampak pada anggota-anggota badan, dan ia memperlihatkannya dengan jelas. Rasulullah Saw. melihat seorang yang mengibas-ibaskan jenggotnya dalam shalat. Dan Rasulullah bersabda,
لَوْ خَشِعَ القَلْبُ هذَا لَخَشِعَ جَوَارِحُهُ
(Kalau seandainya hati orang ini khusyu', niscaya anggota badan-badannya juga khusyu'). Dan Rasulullah bersabda, التَّقْوَى هَاهُنَا وَيُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ (Takwa itu ada di sini –beliau mengisyaratkan ke dadanya tiga kali).
Sebagian para orang arif berkata, 'Baiknya adab lahiriyah adalah tanda baiknya adab batiniyah. Sebagian mereka melihat orang yang khusyu'nya tampak pada dua pundak dan badannya, kemudian menasihatinya, 'Wahai Fulan, khusyu itu ada di sini. Dia mengisyaratkan ke dadanya, bukan di sini, dan dia menunjuk ke dua pundaknya.'

Sebagian sahabat, yaitu Hudzaifah berkata, 'Jauhilah dari kalian khusyu' yang munafik.' Ada yang bertanya, 'Apa khusyu' munafik itu?' Dia menjawab, 'Badan terlihat khusyu' namun hati tidak khusyu'. Umar bin Khattab melihat seseorang menundukkan kepalanya dalam shalat, kemudian berkata, "Wahai pemilik kepala, angkatlah kepalamu karena khusyu' itu bukanlah di kepala. Sesungguhnya khusyu' itu ada dalam hati. Aisyah melihat seorang pemuda yang berjalan dan berlaku seolah-olah orang mati dalam berjalannya. Dia bertanya kepada teman-temannya, 'siapa mereka?' Mereka menjawabnya, "Mereka adalah ahli ibadah." Dia berkata, 'Sesungguhnya Umar bin al-Khattab bila berjalan, maka dia melakukannya dengan cepat, bila berbicara, maka dia memperdengarkan suaranya, bila memukul, maka pukulannya membuat orang merasakan sakit, dan bila dia memberi makanan, maka dia akan mengenyangkan orang. Dia adalah ahli ibadah yang sejati.'

Di dalam kitab Futuhat al-Makkiyyah, karya Ibnu Arabi, diceritakan kisah-kisah tentang orang yang khusyu. Salah satunya adalah kisah tentang seorang pemuda belia yang mempelajari tasawuf kepada gurunya. Pada suatu pagi, pemuda itu menemui gurunya dalam keadaan pucat pasi. Anak muda itu berkata, "Semalam, aku khatamkan Al-Quran dalam shalat malamku." Gurunya berkata, "Bagus. Kalau begitu, aku sarankan nanti malam bacalah Al-Quran dan hadirkan seakan-akan aku berada di hadapanmu dan mendengarkan bacaanmu." Esok harinya, pemuda itu mengeluh, "Ya Ustadz, tadi malam saya tidak sanggup menyelesaikan Al-Quran lebih dari setengahnya." Gurunya menjawab, "Kalau begitu, nanti malam bacalah Al-Quran dan hadirkan di hadapanmu para sahabat Nabi yang mendengarkan Al-Quran itu langsung dari Rasulullah Saw." Keesokan harinya, pemuda itu berkata, "Ya Ustadz semalam aku tak bisa menyelesaikan sepertiga dari Al-Quran itu." "Nanti malam," kata gurunya, "bacalah Al-Quran dengan menghadirkan Rasulullah Saw di hadapanmu, yang kepadanya Al-Quran itu turun." Esok paginya pemuda itu bercerita, "Tadi malam aku hanya bisa menyelesaikan Al-Quran itu satu juz. Itupun dengan susah payah." Sang guru kembali berkata, "Nanti malam, bacalah Al-Quran itu dengan menghadirkan Jibril, yang diutus Tuhan untuk menyampaikan Al-Quran kepada Rasulullah Saw." Esoknya, pemuda itu bercerita bahwa ia tak sanggup menyelesaikan satu juz Al-Quran. Gurunya lalu berkata, "Nanti jika engkau membaca Al-Quran, hadirkan Allah Swt. dihadapanmu. Karena sebetulnya yang mendengarkan bacaan Al-Quran itu adalah Allah Swt. Dialah yang menurunkan bacaan itu kepada mu." Esok harinya, pemuda itu jatuh sakit. Ketika gurunya bertanya, "Apa yang terjadi?" Anak muda itu menjawab, "Aku tak bisa menyelesaikan hatta al-Fatihah sekalipun. Ketika hendak kuucapkan iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in, lidahku tak sangguhp. Karena aku tahu hatiku tengah berdusta. Dalam mulut, kuucapkan, Tuhan, kepadaMu aku beribadah, tapi dalam hatiku aku tahu aku sering memerhatikan selain Dia. Ucapan itu tidak mau keluar dari lidahku. Sampai terbit fajar, aku tak bisa menyelesaikan iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in ." Tiga hari kemudian, anak muda itu meninggal dunia.

Sebenarnya yang diceritakan guru itu kepada muridnya adalah cara memperoleh hati yang khusyu. Hati yang khusyu adalah hati yang sanggup menghadirkan Allah Swt dihadapnnya. Hal itu membutuhkan riyadah-riyadah terlebih dahulu. Sekarang kita paham, kenapa dalam tarikat, kita harus menghadirkan guru di dalam doa-doa kita. Hal itu sebenarnya adalah suatu latihan. Karena sulit bagi kita menghadirkan Allah Swt sekaligus, kita mulai dengan menghadirkan guru kita terlebih dahulu.

Read More..

01 Februari 2009

BERI AKU CAHAYA


اللَّهُمَّ اجْعَلْ فِى قَلْبِى نُوْرًَا وَ فِى بَصَرِى نُوْرًا وَفِى سَمْعِى نُوْرًا وَعَنْ يَمِيْنِى نُوْرًا وَعَنْ يَسَارِى نُوْرًا وَفَوْقِى نُوْرًا وَتَحْتِى نُوْرًا وَأَمَامِى نُوْرًا وَخَلْفِى نُوْرًا واجْعَلْ لِى نُوْرًا (رواه البخارى)

Ya Allah, berilah aku cahaya di dalam hatiku dan cahaya pada penglihatanku dan cahaya pada pendengaranku dan cahaya pada tangan kananku dan cahaya pada tangan kiriku dan cahaya di atasku dan cahaya di bawah ku dan cahaya di depanku dan cahaya di belakangku dan tumbuhkanlah cahaya di dalam tubuhku (HR. al-Bukhari).

Subhanallah, demikianlah doa Nabi kepada Allah SWT yang diriwayatkan al-Bukhari dari Ibn Abbas RA. Apa makna dari doa tersebut? Alangkah indahnya hidup ini jika seluruh relung tubuh kita diberikan cahaya oleh Allah. Cahaya Ilahi. Ya, cahaya Ilahi itulah yang kita harapkan, kita impikan. Bayangkan jika hati kita penuh dengan cahaya Ilahi, akan muncul pemikiran-pemikiran yang baik dari hati ini.

Bayangkan jika pandangan dan pendengaran kita bercahaya, bayangkan jika dari setiap sisi kita bercahaya. Inilah yang menjadi cita-cita para sufi. Tidak lain dengan cahaya yang diberikan Allah, kita berharap bisa bertemu Allah. Siapa saja yang senang akan bertemu Allah, maka Allah pun senang bertemu dengannya, dan siapa saja benci untuk bertemu Allah, maka Allah pun benci bertemu denganya. Saudara, mari kita amalkan doa Nabi ini, semoga Allah cahayai kita dengan penuh cahaya.

Mari kita renungkan doa seorang sufi masyhur Suhrawardi Halabi tentang cahaya:

Ya Tuhanku, Cahayanya Cahaya

”Ya Tuhan, Cahayanya cahaya dan penguasa seluruh jagat, Kaulah yang mula-mula, tak ada apapun sebelum Engkau; Kaulah yang penghabisan, takkan ada apapun setelah Engkau. Para malaikat tidak mampu memahami keagunganMu dan umat manusia takkan sanggup menggapai pengetahuan tentang kesempurnaan hakikatMu.

Ya Tuhan, bebaskan kami dari segala yang membelenggu, dan lepaskan kami dari segala kejahatan yang mengusik kami.

Berikan para roh kami pengaruh keindahanMu dan sinari jiwa kami dengan benderangnya cahayaMu. Pikiran hanyalah setetes air di samudera kemaharajaanMu dan jiwa hanyalah sepercik keagungan IlahiMu.

Segala puji bagi Engkau yang tak satupun mata bisa melihat, yang kemiripannya tak terbayangkan oleh pikirn; bagi Engkau segala puji dan syukur. Kau memberi dan Kau mengambil: Kaulah Sang Maha Pemberi rahmat dan Maha Kekal. Segala puji senantiasa bagiMu, bagi Engkau segala kuasa atas segala-galanya dan padaMu kami akan kembali. (Suhrawardi Halabi)

Read More..

TAFAKKUR

Banyak sekali kita temukan dalam al-Quran ayat-ayat yang memerintahkan kita untuk bertafakkur. Dalam Kamus Besar Indonesia, Tafakkur berarti renungan atau menimbang-nimbang dengan sungguh-sungguh. Dalam terminologi tasawuf, Tafakkur adalah Gerakan kesadaran jiwa yang terbit dari kesadaran naluri yang paling dalam, yang menerbitkan pengakuan-pengakuan kepada Allah Tuhan yang Maha Kuasa, terhadap masalah diri, amal perbuatan dan pandangan terhadap kekuasaan Allah. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Ali Imran ayat 191 yang artinya: "Orang-orang yang selalu ingat kepada Allah di saat ia berdiri, duduk dan berbaring, dan selalu bertafakkur atas kejadian langit dan bumi, mereka itu berkata: Tidaklah sia-sia Ya Allah segala apa yang Kau jadikan, Maha suci Engkau Ya Allah, dan hindarkanlah kami dari azab neraka."
Berikut hadis Nabi yang selalu menjadi idaman kalangan ahli tasawuf yang berbunyi:
التفكر ساعة كعبد الله ستين سنة
(Bertafakkur sejenak, seperti beribadah kepada Allah selama enam puluh tahun)
Kapanpun dan dimanapun kita boleh bertafakkur. Esensi tafakkur adalah merenungkan dua hal yang bertolak belakang, yaitu merenungkan kebenaran dan kebatilan. Kebenaran yang datang dari Allah diterima manusia dengan batinnya, roh dan akalnya. Namun penerimaan oleh akal manusia justru sangat terbatas, terutama mengenai hal-hal yang gaib. Hal-hal yang gaib itu hanya diterima dengan iman oleh hati nurani manusia yang mendapat sinar hidayah dari Allah. Karena itulah al-Quran diturunkan untuk membimbing hati nurani manusia supaya jangan terperangkap kepada pemikiran spekulatif dari akal.

Berfikir spekulatif dengan akal atau filsafat adalah sangat berbahaya, karena yang dibicarakan bukanlah obyek realitas, tetapi di luar fisik yang nyata. Wilayah gaib adalah wilayah iman. Sifat batin sebagai sumber penerima petunjuk digambarkan dalam al-Quran laksana sebuah kaca yang memancarkan cahaya yang bersih, terang benderang, laksana bintang yang memancarkan cahaya (memberi petunjuk) di malam yang gelap, di sana ada sebuah sumbu yang selalu menyala, tidak tahu dari mana asal nampaknya, tetapi ia menyala dari sumbu yang tinggi, yaitu ARASY. Oleh karena itu kebenaran itu tidak bisa dinilai secara material atau lahiriyah, akan tetapi ia selalu dinilai secara batiniyah.
Perlu kita perhatikan hal-hal berikut:

1. Syaitan mencoba menipu manusia yaitu agar manusia itu selalu menilai kebenaran dari aplikasi lahiriyah, sehingga pandangan lahiriyah dijadikan syaitan untuk menipu kebenaran itu. Hal ini menurut istilah Ibnu Taimiyyah disebut Talbis Iblis, yaitu permainan iblis dalam perbuatan yang tampaknya baik.

2. Syaitan selalu suka menggerakkan kita untuk melihat kesalahan orang lain dan tidak pernah menunjukkan kebenaran orang lain. Self correction (mengontrol diri ke dalam) tidak mungkin kita lakukan dari luar, tetapi hal itu dapat kita lakukan dari dalam diri kita sendiri. Dunia ini penuh dengan kepalsuan, sehingga kebenaran yang diukur dengan sifat-sifat keduniawian itu menjadi palsu pula, maka menjadi palsulah kebenaran itu. Orang bisa mengatakan orang lain salah, padahal dirinya sendiri salah. Mengoreksi keluar diri tidak mungkin menemukan kebenaran hakiki. Koreksilah diri ke dalam (diri kita sendiri) sehingga akan dapatlah ditemukan kebenaran yang hakiki.

Rasulullah SAW bersabda: أفتى قلبك (Mintalah fatwa dengan hati nuranimu). Istilah ini disebut muara kebenaran (hati nurani), sebab untuk mengukur kebenaran yang hakiki itu adalah batin kita. Mengukur kebenaran itu adalah awal perbuatan yang benar. Untuk mengoreksi ke dalam diri diperlukan "Afti Qalbaka". Sumber kebenaran itu adalah hati nurani. Disebutkan dalam sebuah hadis qudsi:
قلب المؤمن بيت الله
(Hati orang yang beriman itu adalah Baitullah). Maksudnya di sanalah engkau akan menemukan kesucian dan kemurnian dalam hidup yang dibimbing Allah SWT.

Nur adalah petunjuk Allah yang diturunkan ke hati nurani (tidak turun ke akal pikiran). Di situlah tanda iman seseorang yang lurus dan melahirkan amal perbuatan yang baik. Tidak akan berzina seorang penzina manakala ia berzina ia ingat kepada Allah SWT. Tidak akan mencuri seorang pencuri manakala ia mencuri ia ingat kepada Allah SWT. Tidak akan minum khamr seorang peminum manakala ia minum khamr ia ingat kepada Allah SWT.
Kalau nur (cahaya) dalam batin kita sudah terpengaruh oleh bujukan dan rayuan Syaitan (iblis) maka fungsinya bukan lagi sebagai petunjuk dan tidak pula ia sebagai Baitullah, tetapi ia telah berubah menjadi Baitul Iblis (rumah iblis).
Allah SWT minta pengakuan manusia secara jujur kalau manusia itu memang salah dan segera minta ampun kepada-Nya atas segala kesalahan (dosa yang diperbuatnya), karena Allah bersifat Maha Pengampun kepada setiap hamba-Nya dan Allah tidak pendendam, Allah bersifat Rahman dan Rahim kepada setiap hamba-Nya.

Kepada Allah kita harus jujur atas segala perbuatan kita yang salah dan keliru. Dari pintu ini kita bisa mengoreksi segala kesalahan dalam diri kita. Manusia dengan sesama manusia jarang sekali mau mengakui kesalahannya padahal ia salah, karena:
1. Takut kehilangan kehormatan diri
2. Menghajatkan penghargaan atau kehormatan dari orang lain.
Dari uraian di atas, kunci segala perubahan adalah Tafakkur. Dengan demikian maka seyognyanya kita bertafakkur kapan dan dimana pun kita berada. Beberapa ulama berpendapat bahwa dalam rangka mendidik umat, seperti disampaikan Abu Bakr al-Razi, bertafakkur ini sangat baik apabila dilakukan setelah selesai shalat fardhu dan shalat-shalat sunnat seperti setelah shalat Tahajjud.

Tuntunan tata cara bertafakkur yang baik:
1. Membaca dua kalimat syahadat.
Awalilah ketika kita mulai bertafakkur dengan dua kalimat syahadat.
(أشهد أن لا إله إلاّ الله وأشهد أن محمدا رسول الله)
Membaca dua kalimat syahadat ini dengan penuh makna dan pengertian dalam batin serta penuh keyakinan kepada Allah SWT. Menurut pendapat para sufi: syahadat itu adalah Nur Muhammad, pintu surga bertulis kalimat syahadat dan pada dahi orang yang beriman selalu ada tulisan dua kalimat syahadat. Mereka juga berpendapat bahwa syahadat itu perlu diperbaharui terus setiap saat, karena dikhawatirkan kalau-kalau syahadat kita gugur atau batal karena dosa yang kita perbuat atau kalau ada perbuatan kita dalam perjalanan hidup sehari-hari yang menggugurkan kepada syirik terhadap Allah SWT.

2. Setelah mengucapkan dua kalimat syahadat, kemudian kita melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Ibrah (عبرة) = evaluasi
b. Khauf (خوف) = perasaan cemas (kecemasan)
c. Raja' (رجاء) = harapan
Ibrah adalah gagasan untuk mengevaluasi dan melakukan penelitian obyektif tentang keadaan diri dan amal perbuatan diri kita. Khauf yaitu perlimpahan perasaan kecemasan dan kekhawatiran serta praduga akan akibat amal perbuatan. Raja yaitu sikap optimis dengan harapan-harapan yang tumbuh dalam batin berisi permintaan yang penuh kepada Allah SWT.

3. Setelah selesai bertafakkur, kemudian bacalah doa:
الله حيٌّ، قيّومٌ، دائمٌ، باقِى
(Allah Tuhan Yang Maha Hidup, Yang berdiri Sendiri, Yang Kekal dan Yang Abadi)
Apabila kita mengerjakan semua ini, Insya Allah akan berpengaruh terhadap jiwa dan rohani kita, dan dalam hidup dan kehidupan kita. Semuanya akan memberi pengaruh yang besar terhadap batin kita dalam menuntun dan membimbing rohani kita ke jalan-Nya yang benar, dan senantiasa ditunjuki oleh Allah SWT.
Dalam bertafakkur kita harus berada dalam Bainal Khaufi wal Raja', yakni dalam keadaan seimbang antara kecemasan dan harapan-harapan, sikap optimis dalam batin. Jadi jangan terlalu banyak perasaan cemas, sebab akan menimbulkan sikap pesimistis, dan jangan terlalu banyak harapan-harapan. Yang paling baik ialah seimbang antara perasaan cemas atau kecemasan dan harapan-harapan (sikap optimis). Wallahu A`lam bissawab. (Disarikan dari kitab al-Asās Ilā Tharīq al-Haq, karya H. Muhammad Rafi`ie Hamdie).

Read More..

16 Januari 2009

Muhasabah dan Muraqabah

(Metode Terapi Hati)

Tahun telah berlalu. Bulan-bulan telah lewat. Kita sudah berada di tahun 2009. Tahun yang menurut para peramal tetap (masih) berada dalam lingkaran kekacauan (chaos) politik. Belum lagi bencana alam yang terus menghantui negara kita. Dan isu utama tentunya pemilu 2009. Nuansa politik sudah terasa sejak beberapa bulan yang lalu. Jalan-jalan sudah sudah menjadi papan reklame untuk promosi para calon "pemimpin" bangsa ini. 'Perang' ideologis sudah dimulai. Masing-masing memaparkan visi dan misinya. Politisi-politisi dadakan ini tentunya menjadi fenomena harian kita. Apakah proses demokratisasi sudah berjalan di negeri kita? Apakah tampilnya politisi-politisi baru dalam kancah perpolitikan kita merupakan angin segar atau justru menjadi preseden buruk? Apakah partai-partai sudah betul-betul mengajukan calon-calon legislatif yang kompeten yang memahami persoalan bangsa ini, atau justru menjadi ladang kumpulnya orang-orang yang berorientasi memperkaya diri.

Orang awam mungkin hanya bisa bergumam dalam hatinya, "Apakah di tahun 2009 ada secercah harapan, apakah ada seonggok keadilan, apakah ada kesejahteraan? Untuk itu mari kita menengok ke belakang, mengevaluasi masa lalu untuk maju ke depan. Islam mengajarkan dalam keadaan seperti ini, masing-masing kita harus mengevaluasi diri, berkaca kembali, apakah hati kita benar-benar sudah bersih untuk menghadapi tahun baru ini.

Tahun baru dalam Islam harus dimaknai sebagai upaya untuk berhijrah. Hijrah dari keadaan yang kurang baik menuju hal yang lebih baik. Hijrah dari kesulitan menuju kemudahan. Hijrah dari 'kemiskinan' menuju kekayaan hati. Kata kunci dalam perubahan itu semua adalah muhasabah (introspeksi diri) dan muraqabah (pengawasan diri). Dua hal ini adalah metode terapi hati. Hati kita harus dibersihkan, harus disucikan, harus diluruskan, sehingga menjadi hati yang sehat (salim).
Rasulullah SAW bersabda:

الكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ وَالعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللهِ (رواه الترمذى)

"Orang yang cerdas adalah orang yang mengintrospeksi diri dan beramal untuk persiapan sesudah mati, dan orang yang lemah adalah orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan untuk (diselamatkan) Allah." (HR. al-Tirmidzi)

Imam Ahmad menyebutkan riwayat, dari Umar bin al-Khattab RA, dia berkata,

حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوْا وَزِنُوْا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُوْزَنُوْا فَإِنَّهُ أَهْوَنُ عَلَيْكُمْ فِى الحِسَابِ غَدًا أَنْ تُحَاسَبُوْا أَنْفُسَكُمْ الْيَوْمَ، وَتَزَيَّنُوْا لِلْعَرْضِ الأَكْبَرِ.

"Hisablah diri kalian sebelum kalian dihibab, dan timbanglah (amal-amal) diri kalian sebelum kalian ditimbang, karena sesungguhnya hal itu dapat meringankan kalian atas hisab di hari kemudian, disebabkan hisab kalian saat ini. Dan berhiaslah (persiapkan diri) kalian untuk hari penghadapan yang terbesar."

Muhasabah (introspeksi diri) ada dua macam, satu macam harus dilakukan sebelum berbuat, dan satunya lagi dilakukan sesudah berbuat.

1. Muhasabah sebelum beramal
Yaitu ketika orang ingin memulai suatu pekerjaan dan hendak mengawalinya, hendaklah mempertimbangkan hingga benar-benar jelas keutamaannya daripada meninggalkannya.
Al-Hasan berkata, 'Allah merahmati seorang hamba yang merenung sejenak ketika berkeinginan (melakukan sesuatu), bila hal itu karena Allah, maka dia menjalaninya, tetapi bila karena selain-Nya, maka dia harus meninggalkannya.
Ibnu Qayyim mengatakan, apabila seseorang melakukan suatu perbuatan karena keinginan mendapatkan ridla Allah, maka orang itu harus merenung sekali lagi dan berpikir, apakah dia membutuhkan rekan penolong untuk melakukannya atau tidak? Dan apakah dia memiliki orang-orang yang akan menolongnya bila dia membutuhkan pertolongan? Bila ternyata dia tidak memiliki penolong, maka dia harus berhentik dan menunda dulu sebagaimana Rasulullah mengulur jihad di Makkah hingga beliau mendapatkan kekuatan dan penolong.

2. Muhasabah setelah beramal.
Jenis muhasabah yang kedua ini dilakukan setelah beramal, dan terbagi menjadi tiga macam: a) Muhasabah jiwa atas ketaatan yang telah kurang sempurna dalam menyempurnakan hal Allah, sehingga tidak melaksnakannya sesuai dengan yang sepantasnya. b) Menghisab diri sendiri atas segala amal yang mana meninggalkannya adalah lebih baik daripada mengerjakannya. c) Menghisab diri sendiri atas amal yang biasa dilakukan, kenapa dia melakukannya? Apakah dia melakukannya untuk mendapatkan ridla Allah dan akhirat? Atau untuk kehidupan dunia?

Setelah seseorang telah melakukan upaya muhasabah, maka dia harus melakukan upaya muraqabah (pengawasan diri). Dia harus meneliti, mengawasi dan mengontrol semua aktivitasnya. Upaya muraqabah ini tidak akan berjalan mulus tanpa dibantu oleh kesadaran dan keyakinannya bahwa setiap kali dia bersungguh-sungguh, maka ia akan mendapatkan keuntungan, dan siapa saja yang meremehkannya, maka dia akan mendapatkan kerugian.

Harapan kita, semoga para politisi-politisi yang akan berlaga dalam pemilu 2009 ini, mengintrospeksi (muhasabah) dahulu dirinya sebelum melangkah lebih jauh, kemudian terus melakukan upaya muraqabah (pengawasan/control) atas semua aktivitasnya. Karena bermuhasabah adalah sebuah kewajiban.

يَاأَيُّهَا الَّذِيَنَ آمَنُوْا اتَّقُوا اللهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لَغَدٍ (الحشر: 18)

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)." (Al-Hasyr: 18). Dan finalnya, setiap hamba akan dimintai pertanggungjawaban tentang segala sesuatu, sampai pendengaran, penglihatan dan hatinya pun akan ditanya.

إِنَّ السَّمْعَ وَالبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئكَ كَانَ مَسْئُوْلاً (الإسراء: 36)

"Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya" (QS. Al-Isra: 36)


Semoga, sekali lagi semoga, niat mereka tulus untuk kesejahteraan bangsa kita, amin.


Read More..

12 Januari 2009

SELAMAT SELAGI DIAM

"Wasiat Nabi kepada Abu Dzar"

Kau akan selamat selama kau diam, tetapi jika kau berbicara maka kau akan selamat atau malah akan celaka."
"Wahai Abu Dzar! Orang yang mampu menjaga kemaluan dan lisannya niscaya akan masuk surga. Aku bertanya, 'Ya Rasulullah! Apakah kami akan disiksa karena lidah kami? Beliau bersabda, 'Wahai Abu Dzar! Bukankah manusia itu akan tersungkur batang hidungnya ke neraka karena lisannya. Kau akan selamat selama kau diam, tetapi jika kau berbicara maka kau akan selamat atau malah akan celaka.

Orang yang berbicara satu kalimat di hadapan manusia agar ditertawakan oleh mereka, maka ia akan masuk ke dalam neraka. Sungguh celaka orang yang berbicara agar ditertawakan orang lain dan sungguh celaka. Wahai Abu Dzar! Orang yang diam akan selamat. Hendaklah kau berkata jujur, jangan sampai keluar dari mulutmu kebohongan sedikitpun. Aku bertanya, 'Ya Rasulullah! Bagaimana tobat orang yang berdusta dengan sengaja? Beliau menjawab, 'Istighfar dan shalat 5 waktu dapat menghapus itu semua.'"
Read More..