Glitter Word GeneratorGlitter Word GeneratorGlitter Word GeneratorGlitter Word GeneratorGlitter Word GeneratorGlitter Word GeneratorGlitter Word GeneratorGlitter Word GeneratorGlitter Word GeneratorGlitter Word GeneratorGlitter Word GeneratorGlitter Word GeneratorGlitter Word Generator

01 Januari 2009

Ra’yu sebagai Dalil Hukum

A. Pendahuluan
Al-Syarī`ah al-Islāmiyyah shālihah li Kulli zamān wa makān (Syari`at Islam sesuai untuk dipedomani dalam segala waktu dan tempat). Ungkapan itu adalah sebuah prinsip yang telah menjadi keyakinan di kalangan umat Islam sepanjang masa. Senada dengan itu, Imam al-Syāfi`ī r.a. dalam kitab monumentalnya, al-Risālah, menegaskan bahwa setiap peristiwa yang terjadi pada diri seorang muslim pasti terdapat hukumnya dalam wahyu Allah.
[1]
Persoalannya kemudian adalah bahwa jumlah ayat al-Quran yang berbicara tentang masalah hukum sangat terbatas. Belum lagi dengan adanya ayat-ayat al-Quran yang qath`ī (pasti pengertiannya) dan yang zannī (tidak pasti pengertiannya, tetapi hanya sampai ke tingkat dugaan keras). Sementara perkembangan sosial menimbulkan berbagai corak baru dalam kehidupan masyarakat. Dengan dua kenyataan itulah umat Islam dihadapkan pada suatu tantangan: apakah mereka mampu membuktikan kebenaran prinsip yang mereka yakini seperti disebutkan di atas? Apakah relevansi hukum Islam dapat dibuktikan dalam realitas kehidupan yang selalu berkembang di abad yang penuh tantangan ini.

B. Pengertian Ra’yu
Menurut Ibn Qayyim al-Jauziyyah, al-Ra’yu ( الرأي ) secara bahasa merupakan masdar dari kata ra’ā ( رأى ) di mana kemudian penggunaannya lebih dalam arti maf`ūl ( مرئى ) berarti yang dilihat, yaitu ”sesuatu yang dilihat oleh hati setelah melalui pemikiran dan perenungan dalam rangka mengetahui kebenaran berdasarkan tanda-tanda (’amārāt) atau isyarat tertentu.”
[2]
Al-Ghazali dalam bukunya al-Mustashfā, memaknai al-ra'yu sebagai menyerupakan (tasybīhan) dan memisalkan (tamtsīlan) kepada suatu hukum yang paling mendekati dan menyerupai dengan sesuatu tersebut.
[3]
Dalam al-Quran arti kata ra’ā secara garis besar dapat dibagi dua macam, yaitu objek yang konkrit (berupa) dan objek yang abstrak (tidak berupa). Misalnya:
1) فلمّا رأي الشمس بازغة قال هذا ربّى هذا أكــبر(الأنعام: 78)
2) ألم تروا أنّ الله سخّر لكم ما فى السموات وما فى الأرض (لقمان: 20)
Pada ayat pertama di atas, kata رأى berarti melihat dalam arti melihat dengan mata. Sedangkan pada ayat kedua, kata رأي berarti melihat dengan mata hati atau dengan memikirkan (hasil pemikiran).
Di samping penggunakan kata رأى banyak terdapat dalam al-Quran kata-kata lain yang menunjukkan kepada arti berpikir, yaitu فكر atau عقل atau نظر. Jika dianalisa secara mendalam keempat kata tersebut terlihat keseluruhannya mendorong umat untuk menggunakan pikirannya, baik dengan menggunakan ungkapan “berpikirlah” atau “kenapa tidak kamu pikirkan.”
[4]

C. Ra’yu dan Ijtihad
Jika kita berbicara ra'yu tentunya tidak terlepas dengan kata ijtihad, karena ijtihad merupakan bentuk dari implementasinya dalam menetapkan hukum. Oleh sebab itu, sangat logis ketika ulama membahas masalah ra'yu selalu dihubungkan dengan ijtihad.
Dalam terminologi Usul fiqh, ijtihad adalah: استفراغ الفقيه الوسع لتحصيل ظنّ بحكم شرعيّ (Pencurahan kemampuan secara maksimal yang dilakukan oleh faqih [mujtahid] untuk mendapatkan zann [dugaan kuat] tentang hukum syar`i).
[5]
Menurut Wahbah al-Zuhailī, ijtihad adalah "pencurahan daya dan kemampuan secara maksimal dalam rangka mencapai tujuan dan harus terkait dengan aspek kesulitan dan kesusahan.
[6] Al-Syaukānī mengemukakan sejumlah pengertian ijtihād bi al-ra’yu:
1. merupakan pencurahan daya untuk menemukan hukum dari nash yang tidak jelas (al-nushūsh al-khafiyyah) dalam dalālahnya;
2. mengeluarkan/menyingkap dalil dari al-kitab wa al-sunnah dengan berpegangan dengan al-barā’ah al-asliyyah
[7] atau berpegang dengan maslahah;
3. segala sesuatu yang berkaitan dengan qiyās.
[8]
Di samping itu `Abd Wahhāb Khallāf mendefinisikan ijtihad merupakan "pencurahan daya dan upaya dalam rangka menetapkan hukum suatu masalah yang tidak ada nashnya dengan menggunakan nalar (tafkīr) dan pemanfaatan sarana (wasā'il) yang diperkenankan syara'."
[9]
Dari beberapa definisi di atas, peranan ijtihad dapat dilihat dari tiga segi;
[10]
1. Ijtihad untuk mengeluarkan hukum dari zahir nash manakala persoalan itu dapat dimasukkan ke dalam lingkungan nash. Cara ini dilakukan sesudah memeriksa tentang keadaan nash itu, `āmm-kah ia atau khās, mutlaq-kah atau muqayyad, nāsikh-kah atau mansūkh, dan hal-hal lain lagi yang bersangkutan dengan lafaz (kata).
2. Ijtihad untuk mengeluarkan hukum yang tersirat dari jiwa dan semangat nash dengan memeriksa lebih dahulu apakah yang menjadi `illat bagi hukum nash itu `illat manshūshah ataukah mustanbathah, `illat qāsirah ataukah muta`addiyah, dan sebagainya. Cara ini dikenal dengan Qiyās.
[11]
3. Ijtihad untuk mengeluarkan hukum dari kaidah-kaidah umum yang diambil dari dalil-dalil yang tersebar yang terdapat di dalam al-Quran dan Sunnah Rasul. Cara ini terkenal dengan Istishlāh, Masālih Mursalah, Sadd al-Zarī`ah, Istihsān, dan sebagainya.

D. Korelasi al-Husn dan al-Qubhu dengan Maqāsid al-syari`ah
Sebelum menjelaskan kekuatan ra’yu sebagai sumber hukum, sebagaimana dijelaskan al-Syaukānī tersebut di atas, bahwa ijtihād bi al-ra’yu harus berpegang kepada maslahah yang bermuara kepada maqāsid al-syari`ah.
Ketika akal (al-ra`yu) menjadi dasar hukum di mana akal mampu menyingkap hukum-hukum yang tersirat, dapatkah akal menjadi dasar taklif dengan konsekuensi pahala dan siksa dari Allah? Dari pertanyaan ini akhirnya muncul persoalan al-husnu dan al-qubhu dan korelasinya dengan maqāsid al-syarī`ah.
Dalam kaitannya dengan konsep al-Husnu dan al-Qubhu, setidaknya banyak pandangan terhadap konsep di atas, karena telah masuk dalam wilayah pembicaraan ilmu kalam. Dalam hal ini penulis paparkan pemikiran mazhab Maturidiyah (hampir mirip dengan pandangan Mu`tazilah). Maturidiyah mengakui bahwa al-husnu maupun al-qubhu merupakan esensi perbuatan.
[12] Baik al-husn maupun al-qubhu dapat diketahui akal melalui nilai maslahat atau mudarat yang ditimbulkan suatu perbuatan.[13]
Selanjutnya dalam hal korelasi konsep al-husnu dan al-qubhu dengan maqāsid al-syari`ah, al-Syātibī memaparkan, terdapat empat komponen maqāsid al-syari`ah yang saling terkait, yaitu:
1. Kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat
2. Adanya pemahaman manusia terhadap syari`at
3. Pentaklifan manusia
4. Upaya menghindarkan manusia dari tuntutan hawa nafsu.
[14]
Atas dasar di atas, persoalan al-husnu dan al-qubhu sangat erat hubungannya dengan persoalan maqāsid al-syari`ah, yakni setidaknya dengan komponen (1) kemasalahatan di dunia dan di akhirat, dan komponen (3) pentaklifan manusia.
Menurut Mu`tazilah, suatu perbuatan diketahui dan dinilai akal sebagai al-husn jika ia mengandung maslahah; sebaliknya, suatu perbuatan diketahui dan dinilai akal sebagai al-qubh karena ia mengandung nilai mafsadat.
[15] Bagi Mu`tazilah, nilai maslahat atau mafsadat merupakan tolok ukur untuk menilai apakah suatu perbuatan beresensi al-husn dan al-qubh. Atas dasar itu, mereka berpendapat bahwa setiap hukum Allah itu mesti ada illatnya, dan illatnya itu pada hakikatnya ialah kemaslahatan manusia.[16] Dalam pandangan aliran, ketiadaan illat maslahah pada hukum Allah membawa konsekuensi ketakbergunaan hukum itu.[17]
Dari uraian di atas, tampak bahwa ketentuan Allah (ahkām Allah) ada yang mu`allah (معللة) sebagaimana didukung aliran Mu`tazilah, dan tidak mu`allah (ليست معللة بعلة ألبتة ) sebagaimana pendapat al-Rāzī.
[18]

E. Dasar Kekuatan Ra’yu sebagai Sumber Hukum
Dalam perspektif Mahmud Syaltut, alasan-alasan tentang kuatnya al-Ra’yu sebagai sumber hukum adalah:
Ketetapan al-Quran tentang ”prinsip syūrā” berarti mengakui pendapat yang diambil dalam permusyawaratan.
[19] Firman Allah SWT:
... وأمرَهم شورى بينهم ... (الشورى: 38)
Artinya: ”... sedang urusan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka ...” (QS. al-Syura: 38)
Perintah al-Quran mengembalikan persoalan-persoalan yang dipertikaikan kepada Ulil Amri, yaitu mereka yang dianugerahi paham, hikmat dan cara mengambil hukum. Firman Allah SWT:
... وَلَوْ رَدّوه إلى الرسول وإلى أولى الأمر منهم لَعَلِمَه الذين يستنبطون منهم ... (النساء: 83)
Artinya: “… Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)…” (QS. al-Nisa: 83)
Penunjukan ayat al-Quran tentang istimbat nass.
[20]
إنّا أنزنا إليك الكتاب بالحقّ لتحكم بين الناس بما أراك الله ... (النساء: 105)
Artinya: “Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili di antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu…” (QS. al-Nisa: 105)
Adanya persetujuan Rasulullah kepada sahabat-sahabatnya yang diutus ke daerah-daerah yang jauh, untuk berijtihad dan mempergunakan pendapat dalam soal-soal yang tidak ada dasar hukumnya dalam al-Quran dan Sunnah.
[21]

F. Mazhab Umarī, Mazhab Ahl al-Ra'yi dan Abū Hanīfah
Dalam sejarah hukum Islam, orang yang pertama kali menggunakan ra'yu (berijtihad) dalam menentukan suatu hukum adalah Rasulullah Saw sendiri. Ketika suatu permasalahan hukumnya tidak ditemukan dalam al-Quran, maka Rasulullah berijtihad dalam penetapan hukumnya. Namun, tentunya hasil atau kekuatan hukum dari ra'yu Rasulullah bersifat qath`ī al-dalālah, karena beliau adalah Syāri`. Hal kehujjahan ijtihad Nabi digambarkan Umar bahwa Nabi bersifat ma`sum.
Namun, dalam perkembangan selanjutnya, ulama berbeda pendapat, apakah Rasulullah juga berijtihad, lalu bagaimana perbedaan antara ijtihad murni Rasulullah dan wahyu dari Allah. Beberapa ulama menyatakan bahwa lapangan ijtihad juga berlaku bagi Rasulullah dan ini terjadi dalam beberapa persoalan, di mana hasil ijtihadnya tidak merupakan wahyu Allah. Contoh ijtihad Rasulullah:
عن أبى هريرة عن النبيّ qy قال: لو لا أن أشقّ على أمتى لأمرتهم بالسواك عند كل صلاة (رواه مسلم)
Artinya: Dari Abu Hurairah RA: Nabi SAW bersabda: ”Kalau saja aku tidak merasa takut menyulitkan ummatku, pasti sudah kuperintahkan mereka untuk bersiwak pada setiap kali melakukan shalat.” (HR. Muslim).
Contoh lain dari ijtihad Nabi yang kemudian dianulir dengan firman Allah SWT:
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ فَلَمَّا أَسَرُوا الأُسَارَى قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لأَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ « مَا تَرَوْنَ فِى هَؤُلاَءِ الأُسَارَى ». فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ يَا نَبِىَّ اللَّهِ هُمْ بَنُو الْعَمِّ وَالْعَشِيرَةِ أَرَى أَنْ تَأْخُذَ مِنْهُمْ فِدْيَةً فَتَكُونُ لَنَا قُوَّةً عَلَى الْكُفَّارِ فَعَسَى اللَّهُ أَنْ يَهْدِيَهُمْ لِلإِسْلاَمِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَا تَرَى يَا ابْنَ الْخَطَّابِ ». قُلْتُ لاَ وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا أَرَى الَّذِى رَأَى أَبُو بَكْرٍ وَلَكِنِّى أَرَى أَنْ تُمَكِّنَّا فَنَضْرِبَ أَعْنَاقَهُمْ فَتُمَكِّنَ عَلِيًّا مِنْ عَقِيلٍ فَيَضْرِبَ عُنُقَهُ وَتُمَكِّنِّى مِنْ فُلاَنٍ - نَسِيبًا لِعُمَرَ - فَأَضْرِبَ عُنُقَهُ فَإِنَّ هَؤُلاَءِ أَئِمَّةُ الْكُفْرِ وَصَنَادِيدُهَا فَهَوِىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَا قَالَ أَبُو بَكْرٍ وَلَمْ يَهْوَ مَا قُلْتُ فَلَمَّا كَانَ مِنَ الْغَدِ جِئْتُ فَإِذَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَبُو بَكْرٍ قَاعِدَيْنِ يَبْكِيَانِ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَخْبِرْنِى مِنْ أَىِّ شَىْءٍ تَبْكِى أَنْتَ وَصَاحِبُكَ فَإِنْ وَجَدْتُ بُكَاءً بَكَيْتُ وَإِنْ لَمْ أَجِدْ بُكَاءً تَبَاكَيْتُ لِبُكَائِكُمَا. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَبْكِى لِلَّذِى عَرَضَ عَلَىَّ أَصْحَابُكَ مِنْ أَخْذِهِمُ الْفِدَاءَ لَقَدْ عُرِضَ عَلَىَّ عَذَابُهُمْ أَدْنَى مِنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ ». شَجَرَةٍ قَرِيبَةٍ مِنْ نَبِىِّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-. وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ (مَا كَانَ لِنَبِىٍّ أَنْ يَكُونَ لَهُ أَسْرَى حَتَّى يُثْخِنَ فِى الأَرْضِ) إِلَى قَوْلِهِ (فَكُلُوا مِمَّا غَنِمْتُمْ حَلاَلاً طَيِّبًا) فَأَحَلَّ اللَّهُ الْغَنِيمَةَ لَهُمْ. (رواه مسلم).

Hadis di atas secara umum menjelaskan bahwa Rasulullah berijtihad –melalui musyawarah—dengan mengambil pendapat Abu Bakar terhadap kasus tawanan perang Badar dimana Abu Bakar berpendapat untuk fida` (tebusan dan jaminan untuk kebebasan) yang kemudian berbeda dengan pendapat Umar yang menganjurkan untuk membunuh mereka. Kemudian turun ayat yang menganulir ijtihad Nabi dengan membenarkan pendapat Umar. Dan banyak lagi contoh-contoh ijtihad Nabi.
[22]
Hikmah Ijtihad Rasulullah dan rekomendasi beliau bagi para sahabat untuk berijtihad adalah merupakan teladan bagi ummatnya serta pelita penerang jalan yang ditempuh setelah wafatnya Rasulullah dan demi kesinambungan fiqh Islam.
[23]
Selanjutnya banyak tokoh sahabat yang terkenal menggunakan ijtihad sesudah wafatnya Rasulullah SAW selain Umar, yaitu Abu Bakar, Umar, Ali, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka`ab, Mu`az bin Jabal, Ibn Abbas dan Ibn Mas`ud.
[24] Dan di antara mereka yang menjadi primadona dalam terma berijtihad dengan ra'yu adalah Umar bin Khattāb sebagai Wali al-shahābah. Pada dasarnya penetapan bahwa Umar seringkali mengeluarkan pendapat dan pandangan (berijtihad) dalam banyak hal, berdasarkan riwayat yang menunjukkan bahwa Umar memang diberi kelebihan dan keutamaan oleh Allah SWT dalam memformulasikan hukum Islam.[25]
Di samping itu sahabat Ali bin Abi Thalib mengatakan banyak sekali dalam al-Quran yang sesuai denga pendapat Umar :
قال علي بن أبى طالب رضي الله عنه: ( إنّ للقرآن لرأيا من رأي عمر رضي الله عنه ) أخرجه ابن عساكر عن علي رضي الله عنه. وفى قول آخر للإمام عليّ رضي الله عنه: إنّا كنّا لنرى أن فى القرآن لكلاما من كلام عمر ابن الخطّاب، ورأيا من رأيه. وقال عبد الله بن عمر رضي الله عنهما: ما نزل بالناس أمر فقالوا فيه وقال عمر إلاّ نزل القرآن بوفاق قول عمر، ونزل فيه بسببه كثير من القرآن.
[26]
Dalam perkembangan selanjutnya, orang yang paling terkenal mengikuti metode Umar adalah Abdullah bin Mas`ud. Diriwayatkan bahwa ia hampir tidak pernah berbeda pendapat dengan Umar.
[27]
Selanjutnya, dengan banyak pendapat yang dikeluarkan oleh Umar, sehingga ulama seringkali menyebutnya sebagai mazhab atau manhaj
[28] Umarī, yaitu pandangan-pandangan yang berdasarkan hasil ijtihad Umar r.a. Berikut contoh-contoh ijtihad Umar:
· Beliau menghapus muallaf –yang oleh al-Quran dimasukkan ke dalam kelompok mustahik—dari golongan orang-orang yang berhak menerima zakat, karena penyebab yang membuat mereka berhak menerima zakat sudah hilang, setelah Allah menjadikan Islam kuat dan tidak membutuhkan mereka.
· Beliau tidak memotong tangan pencuri di tahun paceklik, lantaran ada kesamaan dengan keadaan darurat.
· Beliau mengharamkan wanita beriddah –dengan pengharaman abadi—atas laki-laki yang menikahinya di masa iddah, karena orang yang tergesa-gesa melakukan sesuatu sebelum waktunya, dan banyak contoh lain.
Dalam perkembangan sejarah, ijtihad terus berjalan hingga masa Tābi`īn (Umawiyah), dan bersandarkan pada Kitab, Sunnah, Ijma` dan Ra’yu. Hanya saja pada masa ini banyak terjadi peristiwa-peristiwa baru di bidang politik –yang membuat munculnya banyak partai politik-- yang sedikit banyak berpengaruh terhadap gerakan ijtihad. Atas dasar kepentingan politis, banyak muncul hadis-hadis palsu yang berhasil menerbarkan duri bagi usaha-usaha para ulama fiqh untuk melakukan istimbāt hukum.
[29]
Akibat dari peristiwa di atas membawa efek pada perjalanan ijtihad serta istimbāt hukum, yaitu –pada masa Umawiyah-- terpecahnya para ulama kepada kelompok pemikir (ahl al-ra’yi) dan kelompok hadits (ahl al-hadīts).
[30] Kemudian terma berlanjut kepada Imam Abū Hanīfah yang terkenal sebagai Imām al-Ra`yi.
Abū Hanīfah
[31] dikenal sebagai ahl al-ra’yi. Dalam menetapkan hukum Islam, baik yang diistinbatkan dari al-Quran ataupun hadits, beliau banyak menggunakan nalar. Ia mengutamakan ra’yu dari pada hadits Ahad. Apabila terdapat hadis yang bertentangan, beliau menetapkan hukum dengan jalan qiyās dan istihsān.
Faktor-faktor sosiologis yang mempengaruhi Abu Hanifah dalam penetapan hukum adalah letak Kufah yang jauh dari Madinah yang banyak mengetahui Hadits Nabi. Di samping itu, Kufah sebagai kota yang berada di tengah kebudayaan Persia, kondisi kemasyarakatannya telah mencapai tingkat peradaban cukup tinggi. Oleh sebab itu banyak muncul problema kemasyarakatan yang memerlukan penetapan hukumnya. Karena problema itu belum pernah terjadi di zaman Nabi atau di zaman sahabat dan tabi`in, maka dari itu, untuk menghadapinya memerlukan ijtihad dengan ra`yu.
Menurut Subhi Mahmasani, pengetahuan Abu Hanifah yang mendalam di bidang ilmu hukum (fiqh) dan profesinya sebagai saudagar, memberi peluang baginya untuk memperlihatkan hubungan-hubungan hukum secara praktis. Kedua faktor inilah yang menyebabkan keahliannya sangat luas dalam menguasai pendapat dan logika dalam menetapkan hukum syari`at dengan qiyās dan istihsān. Karena itulah Mazhab Hanafi terkenal dengan sebutan mazhab ra`yi.
[32] Di samping itu, prinsip yang dipegang Abu Hanifah adalah sikap kehati-hatian (ihtiyath), dan sikap teliti terhadap hadis-hadis, dan atsar-atsar yang diriwayatkan.[33]
Sebagai perbandingan, Ali Yafie mengilustrasikan intensitas penggunaan akal (ra`yu) dalam istimbat hukum:
1) Lingkaran paling dalam (pertama) merupakan kelompok yang paling sedikit menggunakan ra'yunya. Prinsip mereka dalam pengambilan hukum, tak memperkenankan penggunaan akal. Kaidah mereka: la ra'yu fi al-din (tidak ada tempat rasio dalam agama). Madzhab yang menggunakan kaidah semacam ini disebut madzhab al-Zhahiri, karena diprakarsai Dawud al-Zhahiri yang dilanjutkan Ibn Hazm dalam kitabnya al-Muhalla. Disadari atau tidak, madzhab ini sebenarnya juga menggunakan rasio. Hanya intensitas penggunaannya sangat sedikit.
2) Lingkaran yang kedua, merupakan madzhab yang menggunakan rasio agak lebih intens daripada kelompok pertama tadi. Mazhab ini disebut mazhab Hanbali yang dipelopori Imam Ahmad ibn Hanbal. Doktrin mereka menyatakan bahwa hadits dha'if harus lebih diprioritaskan daripada akal. Madzhab ini banyak dilaksanakan di Saudi Arabia.
3) Lingkaran ketiga, kelompok yang disebut madzhab Maliki yang dipelopori Imam Malik. Doktrinnya menyatakan bahwa rasio harus diperhatikan guna pertimbangan kemaslahatan. Kaidah mereka adalah al- Mashalih al-Mursalah.
4) Lingkaran keempat adalah madzhab Syafi'i yang dipelopori Imam Syafi'i. Dalam proses pengambilan hukum, madzhab ini lebih banyak menggunakan analogi atau qiyas.
5) Lingkaran kelima, terakhir, adalah mazhab yang frekuensi penggunaan akalnya lebih banyak. Akal lebih dipentingkan dalam proses pengambilan hukum daripada hadits. Madzhab ini dipelopori oleh Imam Hanafi."

G. Batas dan Wilayah Penggunaan Ra’yu
Penggunaan ra’yu dalam penetapan suatu hukum berlandaskan (dibatasi) kepada dua hal
[34], yaitu:
1. Dalam hal-hal yang tidak ada hukumnya sama sekali.
Dalam hal ini mujtahid harus berupaya keras untuk menemukan hukum secara murni. Dalam hal ini jelas ruang gerak dan jangkauan ijtihād bi al-ra’yi, di luar masalah-masalah mujma` alaih wa ma`lūm min al-dīn bi al-dharūrah dan materi-materi hukum yang sudah bersifat qath`iyyāt
[35]. Maka dalam keadaan demikian, seorang mujtahid bisa menggunakan metodologi istimbāt hukum untuk menyingkap hukum yang belum ada lewat tujuan hukum.
2. Dalam hal-hal yang sudah diatur dalam nash (al-Quran dan al-Hadits) tetapi penunjukannya terhadap hukum tidak secara pasti.
Ini sering disebut materi hukum yang tidak bersifat qath`iyyāt dan tidak mempunyai interpretasi otentik dari sunnah Nabi (dzanniyyāt). Dalam masalah-masalah dzanniyyāt dimungkinkan adanya lebih dari satu interpretasi, juga dimungkinkan adannya ta`wīl dan tadqīq.
[36] Karena itu, ia bersifat mukhtalaf fīh: menampung terjadinya perbedaan-perbedaan pendapat di kalangan para ahli/mujtahid. Dengan demikian, dimungkinkan adanya perbedaan pendapat dan variasi dalam pelaksanaan ketentuan hukum yang tidak qath`iyyāt.[37]

H. Kekuatan hukum yang dihasilkan Ra’yu
Ra’yu berfungsi sebagai penggali dan penetapan hukum. Terhadap kejadian yang sama sekali tidak terdapat nash, ra’yu dapat menjalankan fungsi formulasi, sedangkan terhadap kejadian yang hukumnya disebutkan dalam nash secara penunjukkan yang tidak pasti, ra’yu dapat menjalankan fungsi reformulasi.
[38]
Dari uraian di atas, ra’yu mempunyai peranan besar dalam menemukan dan mengeluarkan hukum yang tersirat, namun ia hanya terbatas sebagai usaha seorang mujtahid (ijtihād fardī) atau secara kolektif (ijtihād ijma`ī) untuk menyingkap hukum suatu masalah tersebut dan itu merupakan dugaan kuat dari mujtahid tersebut. Sesuatu yang bersifat dugaan yang kuat sekalipun, tidak bisa disebut bersifat pasti (qat`i), namun bersifat relatif (zhanni). Bisa juga dikatakan bahwa hasil ijtihad bobotnya hanya sampai ke tingkat zhanni, tidak sampai ke tingkat yang lebih meyakinkan.
[39]
Namun, dalam beberapa persoalan, hasil ijtihad mujtahid bisa dikatakan qat`i, ketika –misalnya dalam hal qiyas aulawi—menunjukkan bahwa hasil ijtihadnya ternyata lebih kuat illat-nya dibanding hukum asl-nya. Hal ini tentunya menunjukkan bahwa hasil ijtihad tersebut bersifat qat`i, tidak dzannī.
Berdasarkan itu pula, maka para mujtahid tidak dapat dikatakan sebagai kelompok elite pembuat hukum atau musyri`,
[40] tetapi hanyalah fuqaha yang mempunyai kewajiban menginterpretasi dan melakukan istimbāt. Hal ini didukung oleh pendapat al-Syarakhsi, menurutnya, ra’yu hanya terkait dengan penerapan hukum serupa ’asl kepada far` yang tidak ditunjukkan oleh nash.[41] Penegasan al-Sarakhsī tersebut tidak terlepas dari pendirian Hanafiyyah bahwa ra’yu tidak berfungsi sebagai munsyi` tapi sebatas kāsyif karena yang menetapkannya tetap dalil naql atau nash.[42]

I. Ra’yu dalam Isu Kontemporer
Pada abad modern ini, hasil ijtihad para mujtahid masa silam ditantang oleh kebutuhan abad modern yang serba kompleks. Dalam kondisi demikian, gagasan untuk kembali melakukan ijtihad marak di mana-mana, meskipun bagaimana cara melakukan ijtihad kurang bahkan tidak mendapat perhatian. Bahkan pendapat yang berkembang bahwa pintu ijtihad terbuka secara bebas, bahkan tanpa terikat dengan aturan main yang telah dikenal di kalangan para ulama mujtahid.
Kelompok ini menghendaki perubahan total, tidak peduli apakah itu ayat al-Qur’an atau hadits. Untuk sampai kepada maksud tersebut digunakan pelbagai cara. Misalnya, menciptakan kaidah baru yang mengatakan, bahwa jika terjadi pertentangan antara apa yang dianggap maslahat oleh akal dan nash atau ketegasan dalam teks al-Quran, maka yang didahulukan adalah maslahat menurut akal. Sedangkan ajaran yang tertera secara tegas dalam ayat itu dianggap tidak relevan lagi dengan masa kini.
Di antara pemikir liberal kontemporer, misalnya al-Musawi, Dr. Ir. Muhammad Syahrur dengan teori Limitasi-nya (nadzariyyat al-hudūd),
[43] Mahmoud Muhammad Thaha dan Abdullahi Ahmad al-Na`im dengan teori Evolusi-nya yang memuat teori Nasakh, dan Dr. Muhammad Talbi dengan teori Manipulasi Teks (al-talā`ub bi al-nash)[44].
Al-Musāwī, seorang pemikir radikal Syi`ah membolehkan ijtihad untuk menggali hukum syara` dengan menyimpang dari bentuk tekstual nash qath`i al-dalalah, selama didukung dengan alasan yang jelas. Dia menyebutkan contoh bentuk fatwa dan hukum yang diberikan sahabat besar yang menyimpang dari nash qath`i al-dalalah. Dan dia selalu mendasarkan pandangannya dengan tindakan Umar yang melakukan praktik ijtihad yang berbeda dengan nash qath`i.
[45]
Terma limit (hudûd) yang digunakan Syahrur mengacu pada pengertian “batas-batas ketentuan Allah yang tidak boleh dilanggar, tapi di dalamnya terdapat wilayah ijtihad yang bersifat dinamis, fleksibel, dan elastis.” Syahrur dalam pemahamannya menyebutkan beberapa macam bentuk hudud, di antaranya al-had al-adna (batas minimal) dan al-had al-a`la (batas maksimal). Misalnya dalam hal waris dalam ketentuan 2:1. Ketentuan 2:1 adalah batas maksimal bagi laki-laki dan batas minimal bagi perempuan. Dan dalam pergantian ruang dan waktu bisa saja menjadi 1:1.
Dalam contoh lain, dalam kasus pakaian perempuan (libas al-mar’ah), Syahrur berpendapat bahwa batas minimum pakaian perempuan adalah satr al-juyûb (Q.S al-Nur: 31) atau menutup bagian dada (payudara), kemaluan, dan tidak bertelanjang bulat. Batas maksimumnya adalah menutup sekujur anggota tubuh, kecuali dua telapak tangan dan wajah. Dengan pendekatan ini, perempuan yang tidak memakai jilbab pada umumnya (termasuk model “jilbab gaul” yang kini sedang ngetren) sesungguhnya telah memenuhi ketentuan Allah, sebab masih berada pada wilayah di antara batas minimum dan maksimum tadi. Sebaliknya, perempuan yang menutup sekujur tubuhnya (termasuk wajah, dengan cadar misalnya) dianggap telah keluar dari hudûd-u-lLâh (batasan-batasan Allah), karena melebihi batas maksimum yang ditentukan Alquran. Artinya, perempuan yang mengenakan cadar dan menutup sekujur tubuhnya --dengan pendekatan ini-- malah sudah “tidak islami”.
[46]
Selanjutnya dalam pandangan Mahmoud Muhammad Thaha dan Abdullahi Ahmad al-Na`im, berpandangan dalam teori Naskh lama yang menganggap bahwa ayat-ayat (juga hadis) Madaniyah menghapus ayat (juga hadis) makiyah, harus dibalik, yakni ayat makiyah lah yang justru menghapus ayat madaniyyah. Keyakinan Thaha bahwa abad modern ini ayat-ayat makiyah justru menasakh ayat-ayat madaniyah karena ayat-ayat makiyah bersifat lebih universal dan abadi karena menganjurkan kebebasan, persamaan derajat tidak mendiskriminasi jender maupun agama dan kepercayaan. Teori ini disebutnya teori pembalikan.
Yang terakhir, pandangan Dr. Muhammad Talbi, menurut Dr. Raysuni, Muhammad Talbi berpandangan bahwa Teks adalah suci (al-nass muqaddasah) dan interpretasi adalah bebas (al-ta`wil hurr). Ia menekankan kebebasan mutlak sebagai titik tolak dalam memahami teks dan menafsirkannya, dan menolak kontruksi pemikiran salaf dan berupaya melakukan manipulasi teks (al-talā’ub bi al-nas).
Dari uraian pemikir-pemikir kontemporer terlihat, bahwa para pemikir-pemikir tersebut ingin menggunakan nalar (ra`yu)nya secara maksimal dan secara bebas dalam memahami al-Quran secara umum (ayat-ayat hukum secara khusus). Pemikiran-pemikiran tersebut tentunya harus dikaji ulang, apakah termasuk kategori ra`yu yang tercela, karena semena-mena menafsirkan al-Quran dengan mengabaikan standar-standar umum dalam istimbat hukum.

J. Penutup
Hukum Islam mempunyai tabiat fleksibel, takamul, tuntas menyangkut pandangan hidup, tawazun (wasathiyah), yaitu harmonis seimbang di antara semua komponennya. Ia juga bertabiat harakah (dinamis), yaitu bergerak maju menjawab tantangan zaman, tidak beku dan statis, tidak terlepas dari prinsip, tidak menyimpang dari tujuan, serta tidak menyimpang dari rel yang digariskan syara. Semuanya itu tentunya tidak terlepas dari upaya untuk menyingkap hukum-hukum yang belum jelas ketetapannya, di mana fungsi ra’yu (ijtihad)sangat besar untuk mewujudkan semua itu.
Namun permasalahannya adalah tidak semua orang dapat semena-mena menggunakan ra`yunya tanpa menimbang kapasitas keilmuannya. Ra`yu yang tercela adalah yang mengikuti hawa nafsu tanpa berlandaskan pada dalil-dalil agama. Sedangkan ra`yu yang terpuji adalah sebagaimana penjelasan Umar yang tertuang dalam Suratnya kepada Abu Musa al-Asy`ari –qadi Kufah : “Kenalilah akan hal-hal yang mirip, dan hal-hal yang sama, kemudian kamu qiyaskan perkara itu.” (Risalah Qadha Umar).
Wallahu ‘A`lam bi al-Shawab.


DAFTAR PUSTAKA
Alawy, Zainal Abidin, Itjihad Kontemporer dan Reformasi Hukum Islam dalam Perspektif Mahmud Syaltut. Jakarta: Yayasan Haji Abdullah Amin, 2003, h. 52-53.
Baltājī, Muhammad, Manhaj `Umar ibn al-Khattāb fi al-Tasyrī`: Dirāsah Mustau`ibah li Fiqh `Umar wa Tandzīmātih. Kairo: Dar al-Salam, 2002.
Dahlan, Abdul Aziz, dkk, Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1997, Jilid I, h. 198.
Dahlān, Al-Sayyid Ahmad ibn Zainī, al-Fath al-Mubīn fī Fadā`il al-Khulafā al-Rāsyidīn wa Ahl al-Bait al-Thāhirīn. Beirut: Dar al-Fikr, 2005.
al-Ghazālī, Al-Imām, al-Mustashfā min `Ilm al-Usūl. Beirut: Muassasah al-Risalah, 1997, h.268
Hosen, Ibrahim, Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003, Jilid 1, h. 15.
al-Jauziyyah, Ibn al-Qayyim, ‘I`lām al-Muwaqqi`īn `An Rabb al-Ālamīn. Kairo: Dār ‘al-Hadīts, 2004 /1425 H, Juz I, h. 60-61
Khallāf, `Abd Wahhāb, Mashādir ‘al-Tasyrī` ‘al-Islāmī fīmā lā Nashsh fīh. Kuwait: Dār al-Qalam, 1972, h. 7
al-Khin, Mustafa Sa`id, Atsar al-Ikhtilāf fī al-Qawāid al-Usūliyyah fī Ikhtilāf al-Fuqahā’. Beirut: Muassasah al-Risalah, 1996
Raysuni, al-, Ahmad dan Muhammad Jamal Barut, Ijtihad antara teks, realitas dan kemaslahatan sosial terj. Ibnu Rusydi dan Hayyin Muhdzar Jakarta: Erlangga, 2002)
al-Sarakhsī, Syams al-Dīn al-, Ushūl al-Sarakhsi (Beirut: Dār ‘al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1993), juz II, h. 92
al-Sāyis, Muhammad `Alī, Nasy’ah al-Fiqh al-Ijtihādī wa ‘Athwāruh, terj. M. Ali Hasan. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995, cet. 1, h. 66.
Supena, Ilyas dan M. Fauzi, Dekonstruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam. Yogyakarta: Gama Media, 2002
al-Syāfi`ī, Al-Imām Muhammad Idrīs, al-Risālah. Kairo: Maktabah Dar al-Turats, 2005, cet. ke-3, h. 110.
al-Syaukānī, Muhammad `Alī, Irsyād al-Fuhūl. Beirut: Dār al-Fikr, tt, h. 202
Syahrūr, Muhammad, al-Kitāb wa al-Qur’ān: Qirāah Mu`āshirah. Kairo: Sīna li al-Nasyr – al-Ahālī, 1992, h. 453-491.
Syaltūt, Al-Imām al-Akbar Mahmūd, al-Islām `Aqīdah wa Syarī`ah. Kairo: Dar al-Qalam, 1966, cet. Ke-3, h. 552.
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2008, Jilid 1, cet. ke-3, 2008, h. 12-13
al-Syātibī, Abū Ishāq, al-Muwāfaqāt fi Usūl al-Syarī`ah. Beirut: Dar al-Ma`rifah, 1999. Jilid I-II
al-Syaukānī, Muhammad `Alī, Irsyād al-Fuhūl Ilā Tahqīq al-Haq min `Ilm al-Usūl. Beirut: Dār al-Fikr, tt.
Zahrah, Muhammad Abū, Usul al-Fiqh. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Zaidan, Abdul Karīm, al-Wajīz fi Usūl al-Fiqh. Beirut: Muassah al-Risalah, 1987
Zein, Satria Effendi M., “Ijtihad Sepanjang Sejarah Hukum Islam: Memposisikan K. H. Ali Yafie”, dalam Jamal D. Rahman, edt., Wacana Baru Fiqih Sosial: 70 Tahun K. H. Ali Yafie. Bandung: Mizan-BMI, 1997, h. 157.
----------------------------, Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2005.
al-Zuhailī, Wahbah, Usūl al-Fiqh al-Islāmī.Beirut: Dar al-Fikr, 1998, Juz 2,h. 1065
[1]Al-Imām Muhammad Idrīs al-Syāfi`ī, al-Risālah, (Kairo: Maktabah Dar al-Turats, 2005), cet. ke-3, h. 110. Pernyataan al-Syafi`i di atas, tentunya menunjukkan keyakinan dan keteguhan beliau bahwa pada prinsipnya segala hal yang terkait dengan kehidupan manusia semuanya dapat digali dari al-Quran.
[2]Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, ‘I`lām al-Muwaqqi`īn `An Rabb al-Ālamīn (Kairo: Dār ‘al-Hadīts, 2004 /1425 H), Juz I, h. 60-61
[3]Al-Imām al-Ghazālī, al-Mustashfā min `Ilm al-Usūl (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1997), h.268
[4]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2008), Jilid 1, cet. ke-3, 2008, h. 12-13
[5]Lihat Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), Jilid 1, h. 15.
[6]Wahbah al-Zuhailī, Usūl al-Fiqh al-Islāmī (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), Juz 2,h. 1065. Lihat pula al-Ghazalī, al-Mustashfā, h. 382.
[7]Al-Barā'ah al-Asliyyah berarti kebebasan asli. Istilah ini berdasarkan kaidah al-asl bara'ah al-zimmah (asal adalah bebasnya seseorang dari tanggungan). Atas dasar itu pada dasarnya seseorang bebas dari taklif (beban) syarak sehingga terdapat dalil yang dijadikan landasan adanya taklif. Lihat Abdul Aziz Dahlan, dkk, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1997), Jilid I, h. 198.
[8]Muhammad `Alī al-Syaukānī, Irsyād al-Fuhūl Ilā Tahqīq al-Haq min `Ilm al-Usūl (Beirut: Dār al-Fikr, tt), h. 202
[9]Abd Wahhāb Khallāf, Mashādir ‘al-Tasyrī` ‘al-Islāmī fīmā lā Nashsh fīh (Kuwait: Dār al-Qalam, 1972), h. 7
[10]Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan, h. 16.
[11]Sehubungan dengan hubungan qiyas dengan ijtihad, al-Syafi`ī, mengatakan bahwa keduanya adalah dua nama untuk satu makna. Dengan bahasa lain ijtihad adalah qiyas (الاجتهاد القياس). Lihat al-Syāfi`ī, al-Risālah, h. 473. Namun pernyataan qiyas adalah ijtihad dinilai ( خطأ ) salah oleh al-Ghazāli. Menurut beliau ijtihad lebih lebih umum dari qiyas. Karena ijtihad menggunakan nalar dalam hal yang lebih umum, kedalaman lafadz dan penggunaan seluruh metodologi hukum selain qiyas. Lihat al-Ghazālī, al-Mustashfā, h. 237.

[12]Muhammad Abū Zahrah, Usul al-Fiqh (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.). h. 73
[13]Abdul Karīm Zaidan, al-Wajīz fi Usūl al-Fiqh (Beirut: Muassah al-Risalah, 1987), h, 71-72
[14]Abū Ishāq al-Syātibī, al-Muwāfaqāt fi Usūl al-Syarī`ah (Beirut: Dar al-Ma`rifah, 1999). Jilid II, h. 321.
[15]Abdul Karīm Zaidan, al-Wajīz, h. 70

[16]Muhammad Sa`īd Ramadān al-Būtī, Dawābit al-Maslahah fi al-Syarī`ah al-Islāmiyah (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1990), cet. ke-5, h. 87.
[17]Ibid.
[18]Lebih detail lihat Abū Ishāq al-Syātibī, al-Muwāfaqāt. Kitab al-Maqasid, Jilid II, h. 322. dan al-Qism al-Tsāni min qismai al-Ahkāām: al-Masalah al-Tsālitsah, Juz I, h. 171.

[20]Sebagian ulama memaknai pengertian بما أراك الله dalam ayat al-Quran, mengandung pengertian hukum yang didapat dengan jalan istimbat dari nash-nash (ijtihād bi al-ra’yi) sebagaimana Allah wahyukan. Pemahaman terhadap pendapat ini, bahwa beramal dengan jalan ijtihad adalah juga beramal dengan jalan wahyu. Lihat Zainal Abidin Alawy, Itjihad Kontemporer dan Reformasi Hukum Islam dalam Perspektif Mahmud Syaltut (Jakarta: Yayasan Haji Abdullah Amin, 2003, h. 121
[21]Al-Imām al-Akbar Mahmūd Syaltūt, al-Islām `Aqīdah wa Syarī`ah (Kairo: Dar al-Qalam, 1966), cet. Ke-3, h. 552. Lihat juga Zainal Abidin Alawy, Itjihad Kontemporer, h. 52-53.
[22]Untuk melihat contoh-contoh ijtihad Rasulullah lihat Mustafa Sa`id al-Khin, Atsar al-Ikhtilāf fī al-Qawāid al-Usūliyyah fī Ikhtilāf al-Fuqahā’ (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1996), h. 28-31
[23]Muhammad `Alī al-Sāyis, Nasy’ah al-Fiqh al-Ijtihādī wa ‘Athwāruh, terj. M. Ali Hasan (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995), cet. 1, h. 20.
[24]Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan, h. 25.
[25]Beberapa hadis Rasulullah telah menunjukkan kelebihan dan keutamaan sahabat Umar r.a. di antaranya: إنّ الله جعل الحقّ على لسان عمر وقلبه (رواه أحمد) (Sesungguhnya Allah menjadikan kebenaran pada lidah dan hati Umar [HR. Ahmad]). Hadis lain:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ رَأَيْتُ النَّاسَ يُعْرَضُونَ عَلَيَّ وَعَلَيْهِمْ قُمُصٌ مِنْهَا مَا يَبْلُغُ الثُّدِيَّ وَمِنْهَا مَا دُونَ ذَلِكَ وَعُرِضَ عَلَيَّ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَعَلَيْهِ قَمِيصٌ يَجُرُّهُ قَالُوا فَمَا أَوَّلْتَ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ: الدِّينَ (رواه البخارى).
(Rasulullah Saw bersabda: "Ketika aku tidur [aku bermimpi]), orang banyak datang kepadaku dengan memakai baju qamis; ada yang qamisnya menutupi dada dan ada yang tidak; dan dating pula Umar kepadaku dengan pakaian qamis yang panjang dan luas. Berkata para sahabat yang mendengar: "Apakah ta`wilnya, wahai Rasulullah?" Itu adalah Agama," kata Rasulullah. [HR. al-Bukhari]). Hadis ini menunjukkan bahwa Umar adalah sahabat yang dianugerahi pemahaman yang mendalam tentang agama Islam.
[26]Al-Sayyid Ahmad ibn Zainī Dahlān, al-Fath al-Mubīn fī Fadā`il al-Khulafā al-Rāsyidīn wa Ahl al-Bait al-Thāhirīn (Beirut: Dar al-Fikr, 2005), h. 124-125
[27]Muhammad `Alī al-Sāyis, Nasy’ah al-Fiqh al-Ijtihādī, h. 66.
[28]Sebagai perbandingan tentang manhaj Umar dalam tasyrī` dapat dilihat Dr. Muhammad Baltājī, Manhaj `Umar ibn al-Khattāb fi al-Tasyrī`: Dirāsah Mustau`ibah li Fiqh `Umar wa Tandzīmātih (Kairo: Dar al-Salam, 2002).
[29]Muhammad `Alī al-Sāyis, Nasy’ah al-Fiqh, h. 90.
[30]Ahl al-Ra’yi berpusat di Irak, adapun ulama Irak, dalam memberikan fatwa, sangat terpengaruh oleh cara berfikir Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Ibn Mas`ud. Kalangan Tabi`in yang mengikuti jejak mereka, antara lain adalah `Alqamah bin Qais al-Nakha`i dan Ibrahim al-Nakha`i. Sedangkan Ahl al-Hadits berpusat di Hijaz, adapun ulama Hijaz, dalam berfatwa terpengaruh oleh cara berfikir Ibn Abbas dan Ibn Umar. Kedua orang ini merupakan golongan sahabat Nabi yang sangat berpegang pada nash. Jika sangat terpaksa, barulah mereka menggunakan ra’yu (rasio) atau ma`qūl al-Nass (ketika menghadapi perkara-perkara yang benar-benar sudah terjadi yang tidak ada nashnya). Di antara tabi`in yang terpengaruh cara berfikir Ibn Abbas dan Ibn Umar adalah Sa`id bin al-Musayyab, Mujahid bin Jubair, `Atha’, dan Tawus. Lebih jelasnya tentang faktor-faktor yang membentuk pola pemikiran menjadi ahl ra`yi atau ahl al-hadis, lihat Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan, h. 55-60
[31]Abu Hanifah nama lengkapnya Abu Hanifah al-Nu`man bin Tsabit Ibn Zuta al-Taimi. Ia berasal dari Persi, lahir di Kufah tahun 80 H/699 M dan wafat di Baghdad tahun 150 H/767 M. ia menjalani hidup di dua lingkungan sosio-politik, yakni di masa akhir masa dinasti Umayyah dan masa awal dinasti Abbasyiyah. Abu Hanifah adalah pendiri mazhab Hanafiyyah.
[32]http://pesantrenkreanji.net/index/.php?option=com_content&task=view&id=16&Itemid=30
[33]Muhammad `Alī al-Sāyis, Nasy’ah al-Fiqh, h. 100
[34]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, h. 17-18.
[35]Satria Effendi M. Zein, “Ijtihad Sepanjang Sejarah Hukum Islam: Memposisikan K. H. Ali Yafie”, dalam Jamal D. Rahman, edt., Wacana Baru Fiqih Sosial: 70 Tahun K. H. Ali Yafie (Bandung: Mizan-BMI, 1997), h. 157.
[36]Lebih jelas lihat Mustafā Bughā, dalam Muhammad al-Husaini, edt. al-Ijtihād wa al-Hayāt: Hiwār `ala al-Waraq (Beirut: al-Ghadir, 1996), h. 59
[37]Satria Effendi, Ijtihad Sepanjang Sejarah Hukum Islam, Ibid.
[38]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, h. 19.
[39]Satria Effendi, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2005), h. 246
[40]Muhammad `Alī al-Sāyis, Nasy’ah al-Fiqh, h. 23.
[41]Syams al-Dīn al-Sarakhsī, Ushūl al-Sarakhsi (Beirut: Dār ‘al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1993), juz II, h. 92
[42]Syams al-Dīn al-Sarakhsī, Ushūl al-Sarakhsi, Ibid.
[43]Lebih jelas lihat Muhammad Syahrūr, al-Kitāb wa al-Qur’ān: Qirāah Mu`āshirah (Kairo: Sīna li al-Nasyr – al-Ahālī, 1992), h. 453-491. Muhammad Syahrur lahir di Damaskus, Syiria tahun 1938. Ia mulai menapaki jenjang pendidikan dasar dan menengah sebelum ia pergi ke Moskow untuk belajar ilmu tehnik (engineering) di Universitas hingga tahun 1964. Dua tahun kemudian 1968 ia melanjutkan pendidikan master dan doktornya dalam bidang mekanika tanah (soil mecanichs) dan tehnik bangunan (foundation engineering) pada Universitas College Dublin di Irlandia. Sepulang dari Irlandia ia memulai kiprah intelektualnya sebagai seorang professor tehnik di Universitas Damaskus, Syiria hingga sekarang. Sebelum masuk dalam jajaran selebritis intelektual muslim dunia berkat perhatiannya yang mendalam tentang pemikiran Islam yang dituangkan dalam karya monumentalnya al-Kitāb wa al-Qur’ān: Qirāah Mu`āshirah. Lihat M. In’am Esha, Muhammad Syahrur: Teori Batas dalam Khudori Soleh dkk, Pemikiran Islam Kontemporer, Jendela, Yogyakarta 2003, hlm. 296.
[44]Ahmad al-Raysuni dan Muhammad Jamal Barut, Ijtihad antara teks, realitas dan kemaslahatan sosial terj. Ibnu Rusydi dan Hayyin Muhdzar (Jakarta: Erlangga, 2002), h. 11.
[45]Ilyas Supena dan M. Fauzi, Dekonstruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam (Yogyakarta: Gama Media, 2002), h. 271.
[46]Sebagai perbandingan lihat buku bantahan terhadap pemikiran Syahrur, yang ditulis Dr. Mahāmī Munīr Muhammad Thāhir al-Syawwāf, Tahāfut al-Qirā’ah al-Mu`āsirah (Cyprus: al-Syawwaf Li al-Nasyr wa al-Dirasat, 1993).

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Makasih..izin copy gan buat simpan dan bacaan hari hari syukron